Inilah Sejarah Pengelolaan Zakat Zaman Rasulullah SAW di Mekkah

Sejak tahun ke-2 hijriah, umat Islam sudah diperintahkan untuk berzakat. Tahun tersebut adalah masa Rasulullah SAW membangun dan menyebarkan Islam di Mekkah atau sebelum peristiwa hijrah. Ada banyak sekali ayat-ayat yang memerintahkan umat Islam untuk mengeluarkan zakat atau istilah lainnya, membelanjakan harta di jalan Allah.

Ini pun seperti yang disampaikan oleh Rasulullah SAW dalam sebuah hadits. “Islam dibangun diatas lima (pokok; rukun): bersa ksi bahwasanya tidak ada tuhan kecuali Allah dan bahwasanya Muhammad adalah utusan Allah, mendirikan shalat, menunaikan zakat, menunaikan haji, dan puasa dibulan ramadhan.” (HR. Bukhori- Muslim)

Untuk itu, zakat tidaklah boleh lepas dari bangunan Islam. Zakat termasuk dalam pondasi yang tidak boleh roboh. Ia menopang berbagai fungsi Islam yang lainnya. Itulah mengapa, zakat terus dikembangkan pengelolaanya oleh para sahabat, walaupun Rasulullah SAW sudah tiada. Misalnya yang terjadi pada Kekhalifahan Umar bin Abdul Azis. Dalam 30 hari ia berhasil memberantas kemiskinan di masyarakatnya dan semua zakat dikelola secara produktif bukan lagi sekedar konsumtif.

Berikut ini adalah beberapa sejarah dan bentuk zakat ketika Rasulullah masih ada di Mekkah. Walaupun saat itu Islam masih belum besar dan tersebar di penjuru dunia, sahabat-sahabat Nabi Muhammad SAW tidak ragu untuk berzakat bahkan mengerahkan hartanya agar optimal dalam membangun Islam.

Perintah Zakat di Mekkah

Dalam QS Ar-Rum ayat 38, Allah SWT berfirman, “Berilah para kerabat, fakir miskin, dan orang yang terlantar dalam perjalanan hak masing-masing, yang demikian itu lebih baik bagi mereka yang mencari wajah Allah.”

Baca Juga: Apa itu Fakir Miskin? Bagaimana Kriterianya Dalam Islam

Saat di Mekkah, zakat memang sudah diperintahkan apalagi untuk kaum dhuafa, membantu kerabat atau sahabat yang miskin dan kekurangan. Namun, saat itu belum ada aturan berapa besaran zakat yang harus dikeluarkan dan seperti apa bentuk zakat yang harus ditunaikan berdasarkan jumlah harta atau jenis hartanya.

Namun, secara umum di QS Al-An’am ayat 141 disebutkan, “Makanlah buahnya bila berbuah, keluarkanlah haknya pada hari memetik hasilnya, tetapi janganlah berlebih-lebihan. Sungguh Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.”

Ayat ini menunjukkan bahwa kewajiban berzakat atau mengeluarkan harta memang ada, namun juga jangan sampai berlebihan hingga kita kekurangan untuk modal hidup. Namun jangan juga bersikap kikir, hingga kita pun menjadi enggan untuk berzakat.

Mengenai kewajiban zakat saat Masa Dakwah Rasulullah di Mekkah, Yusuf Al-Qardhawi, ulama Islam kontemporer memiliki penjelasannya. Zakat yang disebutkan dalam surat-surat Makiyah tidak sama dengan zakat yang diwajibkan di Madinah. Di Mekkah belum ada nisab, haul, dan aturan-aturan lainnya. Namun untuk orang yang mengelolanya sudah diatur dan Nabi Muhammad beserta sahabat memiliki peranan penting akan hal ini.

“Zakat di masa itu tidak ditentukan batasnya, namun diserahkan pada rasa iman dan kemurahan hati serta perasaan tanggung jawab seseorang atas orang lain,” jelas Al-Qaradhawi dalam Fikih Zakat.

Baca Juga: Panduan Fiqih Zakat Lengkap, Bonus E-book (Gratis)

Teknis Berzakat Saat Masa Dakwah Islam di Mekkah

DI tahun ke-2 hijriah, Rasulullah mulai mengutus Muadz bin Jabal untuk menjadi Qadli di Yaman. Ia memberikan nasihat kepadanya untuk menyampaikan kepada ahli kitab mengenai ajakan berislam dan beberapa hal. Salah satunya adalah mengenai aturan zakat dalam Islam. Orang-orang kaya diwajibkan untuk membantu yang miskin. Ajakan ini pun menuai simpati dan ketertarikan raja-raja.

Pada masa itu, harta benda yang perlu dikeluarkan zakatnya adalah seperti binatang ternak (kambing, sapi, unta), emas, perak, hasil panen (gandum, kismis, kurma). Walaupun sekarang kuda adalah binatang peliharaan, di zaman Rasulullah SAW kuda tidak termasuk kepada wajib zakat. Fungsi kuda pada masa tersebut adalah sebagai kendaraan dan alat perang.

Hal ini juga terjadi pada masa Kekhalifahan Umar bin Khattab. Kuda akhirnya menjadi termasuk harta yang wajib dizakati, karena saat itu berkembang tidak lagi menjadi kendaraan namun juga perternakan.

Untuk itulah perlu kita pahami bahwa teknis berzakat di setiap masa bisa jadi mengalami perubahan. Namun, secara prinsipya tidak pernah berubah. Hal ini juga dibuktikan dengan teknis berzakat di Madinah yang sudah berubah. Mulai diatur secara rinci nisab, haul, dan jenis-jenis harta yang wajib dikeluarkan zakatnya.

Tentu saja di masa kini, kewajiban zakat pun banyak berubah secara teknisnya. Misalnya dimulai dengan pembayaran menggunakan platform online, e-commerce, dsb. Namun semua itu tetap sesuai prinsip dan tidak mengubah orientasi seorang muslim untuk berzakat. Termasuk membayar zakat di tengah masa pandemi saat ini, dengan menerapkan social distancing. Pembayaran zakat online pun menjadi pilihan yang sangat solutif.

Jangan lupa untuk berzakat, karena dengan zakatlah harta menjadi lebih berkah dan membawa manfaat untuk dunia juga akhirat kita kelak.