Kala konflik Wadas memuncak, pertanyaan nakal menyambangi saya: andaikata zakat telah sepenuhnya dikelola oleh institusi negara, bagaimana zakat negara merespon Wadas?
Saya sajikan postulat tunggal: hilangnya peran dan kebermanfaatan zakat pada kasus kemiskinan struktural.
Ini bukan kekhawatiran kosong. Meski konstruksi regulasi belum mewajibkan pembayaran zakat, lebih lanjut memonopolinya pada satu institusi negara, anasir pemikiran yang berkembang cukup kuat ke arah sana.
Langkah awalnya adalah pewajiban pembayaran zakat ASN dan karyawan BUMN/D pada institusi zakat negara. Zakat diproyeksi laiknya pajak: sumber daya negara. Dalam konstruksi ini, zakat telah menjadi alat politik yang dijalankan oleh entitas politik.
Dalam kasus kemanusiaan struktural seperti Desa Wadas, model monopoli zakat oleh negara akan menemukan ambiguitas absolut. Benturan awal pada aspek imparsialitas bantuan.
Dalam desain programmatik kemanusiaan, bantuan yang diberikan wajib disalurkan secara netral tanpa embel-embel identitas atau mensegregasi bantuan berlandaskan sikap politik pribadi. Amil kemarin sore saja paham soal aturan dasar ini.
Sementara kasus Desa Wadas, prinsip kenetralan bantuan kemanusiaan terbentur pada fakta bahwa pranata negara, yang juga pengelola utama zakat di daerah, justru penyebab utama konflik struktural tersebut.
Namun, bisa jadi persoalan imparsialitas penyaluran bantuan itu bukan apa-apa. Bagaimana jika permasalahannya justru terletak pada adanya relasi politik yang kuat antara kepala daerah dengan pimpinan institusi zakat di wilayah tersebut?
Tak percaya? Saya undang teman-teman untuk menilik proses pemilihan pimpinan institusi zakat di tingkat pusat dan daerah, serta entitas politik yang terlibat. Lalu cross-cutting dengan pihak yang memiliki peranan dalam penyaluran dana zakat negara.
Maka, kala zakat dimonopoli oleh negara, persoalan bukan lagi pada kecepatan respon pada isu kemanusiaan dan kemiskinan struktural. Atau pada birokratisasi penyaluran bantuan itu sendiri. Persoalan esensial tersebut terasa tidak relevan.
Kala zakat dimandatkan sepenuhnya ke negara, isu zakat akan bergeser pada politisasi zakat sebagai tools politik, alih-alih isu kemanusiaan itu sendiri. Zakat yang semestinya menjadi alat perekat masyarakat yang tercerai-berai dan peringan beban masyarakat terdampak, justru menjadi ambigu dan tidak imparsial dikarenakan posisi politik yang didesain oleh regulasi.
Terlalu banyak pertaruhan manakala zakat dimonopoli oleh entitas politik negara. Paling mendasar adalah makin banyak mustahik yang tidak terurus.
Jangan sampai kejadian. Kita masih punya ruang untuk mencegahnya. Dimulai dengan rekonstruksi regulasi zakat yang ada. Lalu dekonstruksi anasir pemikiran monopoli zakat oleh negara. Ini penting dan perlu segera dilakukan. (Dompet Dhuafa / Arif R. Haryono)