Tak Hanya Bantuan Kemanusiaan, Pendidikan Penuh Kasih Sayang Hingga Hutan untuk Sagu Juga Dibutuhkan Masyarakat Asmat

ASMAT, PAPUA — “Tidak ada perahu, sudah dijual. Ini saja kami makan,” tutur Yance, sembari menunjukkan bungkusan belanjaan berisi mie instan, penyedap rasa, dan ikan kaleng, saat ditemui oleh relawan kemanusiaan Dompet Dhuafa, dr. Rosita “Oci” Rivai.

Dia kemudian bercerita bagaimana itu telah menjadi kebiasannya. Bahkan saat Yance masih kecil dulu. Kebiasaan tersebut kemudian menjadi warisan yang ia turunkan ke keluarganya sekarang. Makanan pokok mereka sekeluarga adalah sagu yang dicampurkan dengan ikan kaleng atau mi instan.

Ketika menghampiri rumahnya, seperti yang dikisahkan dr. Oci di locita.co, ia bertemu kedua anak Yance, Yustina dan Miranti. Kondisinya pun sama dengan anak-anak lainnya dengan kondisi gizi buruk. Kaki dan tangan mengecil, tubuh kisut, dan kepala yang membesar.

Kebiasaan konsumsi pangan tersebut bukanlah hal baru di daerah Papua. Hingga sekarang, kebiasaan seperti itu sudah menjadi model konsumsi di keluarga Asmat. Kiranya, hal tersebut dipicu oleh adanya pergeseran pangan. Harus diakui bahwa masyarakat Asmat adalah masyarakat peramu. Dalam buku Asmat Peramu Sejati Mengukir Jatidiri yang ditulis oleh Albertus Istiarto, diungkapkan bahwa mereka hidup dengan mengambil hasil hutan untuk memenuhui kebutuhan hidup. Selain itu, mereka memancing atau menjala. Di hutan, mereka berburu ayam, babi, dan burung.

Tetapi semua berubah di era 1980-an. Ketika modernitas yang dibawa oleh para pedagang telah masuk ke tanah Asmat. Saat itu profesi yang dianggap mampu meningkatkan hidup perekonomian adalah menebang kayu. Profesi tersebut kemudian menggeser pekerjaan mereka yang merupakan peramu dan pemburu. Setelah itu, kebutuhan pangan mereka bergeser ke makanan instan yang dibawa oleh saudagar-saudagar ke kota lumpur tersebut.

Pergeseran pola makanan tersebut didukung pula oleh adanya paradigma beras sebagai makanan pokok. Padahal kenyataanya sebagai orang pedalaman pesisir, makanan mereka sehari-hari adalah sagu dan umbi-umbian, serta berburu. Perubahan tersebut didukung juga oleh pembabatan hutan dan berganti menjadi kebun kelapa sawit.

Human Rights Watch merilis bahwa lahan kelapa sawit di Papua, ada lebih dari 2 juta hektare.  Perusahaan perkebunan ini membabati ekosistem asli mereka, menjadikan mereka kehilangan jati diri sebagai peramu dan pemburu. Kehilangan pohon-pohon yang disulap menjadi lahan kelapa sawit, menjadikan mereka tidak dapat mendulang sagu.

Betul kata beberapa pakar bahwa, Asmat membutuhkan pertolongan sporadis beras, seakan mereka tidak memiliki sumber pangan lagi. Namun, ada perihal yang lebih penting dari itu, semuanya tentu dari sudut pandang kita. Saya ingat tulisan Roy Thaniago di remotivi.or.id, bahwa melihat Papua—dalam hal ini Asmat, perlu kacamata lebih holistik dan butuh riset dan informasi yang lebih mendalam. Kalau saja CNN dan Kompas tidak memberitakan rutin berita tersebut, tentu kasus Gizi Buruk dan Campak akan menguap begitu saja.

Hingga berbuah pergerakan relawan kemanusiaan yang terus berdatangan merespon kasus di Asmat. Salah satunya adalah Dompet Dhuafa yang sejak 16 Januari 2018 hingga saat secara estafet mengirimkan bantuan untuk Asmat, khususnya anak-anak generasi hebat dari Asmat. Food Bank for Asmat yang merupakan wadah program multisektor seperti kesehatan, Pendidikan, sanitasi, dan juga energi terbarukan, resmi berdiri di Asmat. Seolah menjadi menara mercusuar yang terus memantau perkembangan dan diharapkan menjadi pengurai masalah di Asmat.

Betul bahwa masyarakat Asmat tidak hanya membutuhkan bantuan sporadis dan sikap terlalu simpatik, namun di satu sisi mereka butuh mengenal bagaimana konsepsi gizi tersebut. Tentu tiada yang rela nyawa anak-anak harus meninggal karena gizi buruk dan campak ini terulang kembali.

Kini status KLB gizi buruk dan campak telah dicabut oleh Kementerian Kesehatan. Namun tugas besar untuk menyelesaikan permasalahan kesehatan di Asmat dan Papua sendiri harus benar-benar dari muaranya. Jangka waktu yang panjang tentu menjadi durasi kita dalam turut serta merawat anak-anak Asmat. Seperti yang diungkapakn Kak Seto, bahwa penanganan yang baik permasalahan di Asmat, tentu akan mencetak calon orang-orang hebat. Terlebih merespon anak-anak asmat dengan penuh cinta dan kasih sayang, tentu mereka akan tumbuh menjadi generasi gemilang. (Dompet Dhuafa/dr. Oci/Taufan YN)