SOLOK, SUMATERA BARAT — Kabut pagi khas perbukitan menyelimuti rimba wilayah Nagari (Kelurahan) Sirukam, Kecamatan Payung Sekaki, Kabupaten Solok. Matahari masih tertutup. Tanah merah yang becek tak membuat langkah kaki Samsinar (57) berhenti. Menuju perkebunan, wanita paruh baya itu menelusuri ladang kopi-nya yang masih basah dari warisan hujan, Rabu (18/12/2019).
Usai menjalankan ibadah Dzuhur, asap panas dari secangkir kopi seduhan Samsinar, melengkapi suasana siang hari nan dingin itu. Perbincangan sederhana bersama Tim Dompet Dhuafa di sebuah pondok kayu itupun, membawa pada sebuah alur memori semangat juangnya. Bagi Samsinar, merawat tanaman kopi itu bak merawat anak sendiri. Melakukan dengan teliti, setiap hari, dan sepenuh hati dalam berbagai kondisi.
"Sebelum pondok yang sekarang ini ada, kami (Samsinar dan suami) cari kayu untuk membuat pondokan kecil. Ditutup pakai plastik sebagai atap, untuk berteduh dan istirahat dari panas dan hujan,” kenang Samsinar.
Ia menceritakan salah satu momen terhujam hujan yang lebat disertai angin kencang ketika bertani. Air masuk ke dalam pondok. Atap plastik rusak, diganti, sobek lagi. Hingga pondok kecil andalan di tengah kebun kopi Jorong (Desa) Kubang Nan Duo itu roboh diterjang badai.
“Saya sudah kebasahan dalam kondisi lelah dan sangat ngantuk. Saya cuma bisa nangis karena sudah sangat kedinginan," tutur Samsinar.
"Biaya sudah habis, tentulah saya juga tidak sanggup kedinginan. Tapi saya tetap ke ladang terus dan tidak ingin berhenti. Hingga berdirilah pondok ini yang lebih besar dan kokoh," lanjutnya.
Sebelum bertani kopi, Samsinar berkegiatan di hutan sebagai pengangkut batu dan kayu bakar. Mawi, suaminya, berdagang ayam. Hingga pada 2014, Samsinar dan suami hijrah bertani kopi atas rekomendasi menantunya yang turut membantu mencari informasi terkait hal tersebut. Menurutnya, sangat susah hidupnya dulu di kampung, mereka berpikir semakin lama makin tua dan mungkin tenaga juga melemah dengan kegiatan sebelumnya.
"Itulah kami buka lahan ini untuk ladang kopi. Mengawali dengan membuka lahan seluas 1/4 hektar. Dengan harapan masa depan tidak susah nantinya. Namun kami di cemo'oh masyarakat sekitar. Orang-orang menganggap kehidupan kami yang sekedarnya tapi mau buka lahan seluas itu. Pikir mereka mana kami sanggup," seru Samsinar.
Seraya menghabiskan tetes-tetes terakhir kopi yang diseduhnya, Samsinar bertutur, "Ya Allah, Ya Tuhan.. Semoga berhasil besok biar jadi contoh orang banyak. Supaya orang-orang yang seperti kita dulu tidak susah juga hidupnya". (Dompet Dhuafa/Dhika Prabowo)