BOGOR, JAWA BARAT — “Awal masuk asrama gak bisa tidur, rasanya ingin pulang, kangen orang tua. Saya belum pernah merantau dan belum tahu rasanya mondok. Sekaligus dulu masih bimbang juga, ini kok saya malah nyantri eTahfidz padahal saya daftar sekolahnya SMART Ekselensia,” aku Muhammad Alfarisi (18), santriwan kelas III eTahfidz (Ekselensia Tahfidz) Pesantren Hafidz Village Dompet Dhuafa.
Ditemuinya di Kawasan Zona Madina Parung, Kamis (30/9/2021), remaja yang memiliki sapaan Aris itu menceritakan perjalanannya menimba ilmu yang unik nan berkesan. Tanpa dasar pendidikan di sekolah Islam ataupun pesantren sebelumnya, kini Aris merupakan salah satu santriwan angkatan kedua yang hampir lulus dari eTahfidz Dompet Dhuafa.
Bermula dari Sang Ayah yang mendapat rekomendasi dari temannya, tentang sekolah SMART Ekselensia Indonesia di Bogor. Aris pun sempat pesimis mendaftarkan diri. Menurutnya, SMART Ekselensia merupakan sekolah yang bonafit dan banyak siswa pintar mendaftar dari se-Indonesia. Namun setelah lulus SMPN, remaja kelahiran Padang Panjang, Sumatera Barat, itu tetap mencoba daftar.
“Sampai ketika tes akademik, saya gak tahu ternyata formulir tesnya itu eTahfidz, saya mengira ini masih SMART Ekselensia. Bahkan di kertas soal pada bagian akhir, ada bahasa Arabnya. Saya kan bingung, belum bisa banget, solat aja masih bolong-bolong, mengaji paling dasar aja,” kenang Aris, saat melakukan awal pendaftaran di Padang.
“Kata Ayah saya,” lanjutnya, “Coba saja dulu, siapa tahu jalannya disana. Ya sudah, bismillah, ternyata lolos. Tahap demi tahap, sampai tes mengaji, saya coba terus. Hingga waktu tes terakhir, dalam hati saya bilang ke diri saya sendiri, kalau saya keterima, saya gak akan ninggalin solat lagi. Lucunya, ketika pengumuman, Ayah saya bilang gak lolos. Saya nyesek juga, sudah berapa tes saya lalui sampai akhir. Ternyata Ayah saya nge-prank. Terus saya liat wajah Ayah saya dan sujud syukur,” seru Aris.
Setelah masuk eTahfidz, Aris baru mengetahui ternyata sekolah itu berbeda dengan yang ia tuju, walaupun gedung dan areanya berada di sekolah SMART Ekselensia. Awal masa pendidikan ia lalui, tapi Aris masih kurang percaya diri. Pasalnya, menurut Aris, ia berada di lingkungan yang sudah terdidik sebagai penghafal Al-Quran disana.
“Iya, sempat terpikir jangan-jangan saya dijebak, hehe. Saya pikir, bacaan saya paling berantakan karena yang lain kan kebanyakan dari pondok pesantren, sudah hafidz. Tapi saya husnudzon saja, mungkin Allah yang menuntun saya langsung, takdir jalannya begini. Saya jalanin saja. Sampai akhirnya saya cerita ke beberapa teman dan ke guru, Ustaz Ari,” ucapnya.
“Ustaz Ari bilang, tentukan saja sekarang, jangan labil terlalu lama. Ingin keluar atau tetap disini? Terus dia juga bilang, gak apa-apa, Ris. Mungkin kamu memang tersesat di jalan yang benar. Dan orang tua juga kasih saran, gak salah juga sekolah disini. Saya pikir-pikir, benar juga, saya tersesat di jalan yang benar,” jelas Aris.
Semasa pandemi, di akhir tahun 2020, Aris berkesempatan pulang ke Padang dan menemui orang tuanya. Sang Ayah yang aktif bertani di kebun dan Sang Ibu sebagai ibu rumah tangga itu pun bangga. Mereka juga tidak menyangka, mendapati perkembangan putra ketiganya yang lebih rajin beribadah kini. Dari kelima bersaudara, hanya Aris yang menjalani pendidikan pesantren di eTahfidz.
“Pokoknya dulu gak kepikiran eTahfidz sama sekali. Sekarang hafal Al-Quran, ya, walaupun hafalannya masih 7 Juz. Kalau di rumah paling ingat sama mama, karena dulu mau solat aja tunggu disuruh dulu sama mama,” sebut Aris.
Ia lanjutkan, “Tapi dulu saya ngaji sekedar baca saja. Di eTahfidz gak hanya menghafal saja, namun juga mempelajari makna, tafsir, ulumul Quran, bahkan sirah nabawiyah. Ada pelajaran lain juga, Bahasa Arab, Bahasa Inggris, Fisika, juga Kimia. Nanti abis lulus ingin kuliah Matematika. Dan kalau kerja, setidaknya apa yang kami lakukan masih ingin ada unsur dakwahnya. Target saya hingga lulus eTahfidz April tahun depan, ingin nambah hafalan, minimal saya kuat hafalan 10 Juz”.
(Ki-Ka: Salamun, Aris, Dzikri, & Zaini)
Pesantren Hafidz Village menjadi pesantren pertama yang Dompet Dhuafa dirikan, pun yang pertama berbasis Wakaf Produktif. Memanfaatkan lahan hijau seluas 2 hektar di Lido, Sukabumi, Dompet Dhuafa berupaya melahirkan generasi muslim hafidz Al-Quran, serta memiliki kompetensi kepemimpinan dan ilmu pengetahuan teknologi.
“Saya pun masih kagum, Al-Quran tuh emang luar biasa. Kok bisa orang-orang hafal Qur’an 30 Juz, detail gak ada yang kerubah-ubah satu huruf pun sampai panjang-pendeknya. Karena saya belajar dari nol. Yang sudah hafal 30 Juz pun masih diulang untuk penguatan. Belum lagi, paham arti dan tafsirnya. Sepertinya Islam satu-satunya agama yang ada penghafalannya seperti ini,” pungkas Aris.
Kelak akan banyak hadir kursi kosong untuk para santriwan dan santriwati. Mereka yang tidak mampu secara ekonomi namun memiliki kemampuan intelektual dan kemauan yang tinggi, memiliki kesempatan untuk mengisi. Dukungan itu akan berarti melalui tautan https://donasi.dompetdhuafa.org/etahfidz/ ini. Calon santriwan dan santriwati melewati berbagai seleksi seperti siswa dan santri di sekolah SMART Ekselensia dan eTahfidz Dompet Dhuafa yang sudah lebih dulu melahirkan generasi unggul.
Di akhir percakapan, Aris juga mengungkapkan, “Sebenarnya sih pengin jadi Pengusaha. Dulu kecil suka bantu-bantu paman kerja melayani warung dan menjaga warnet. Belajar berdagang dan cari uang jajan sendiri. Saya paling senang kisah sejarah Nabi Muhammad SAW. Beliau dari kecil tuh mashaAllah sudah diuji, kesabarannya luar biasa”. (Dompet Dhuafa / Dhika Prabowo)