THK 2024 akan Menyapa Pulau Kei Maluku

Tebar Hewan Kurban 1445 H di Pulau Kei

PULAU KEI, MALUKU — Pada momen Tebar Hewan Kurban (THK) 1445 H/2024 M kali ini, aku mendapatkan tugas untuk melakukan survei serta Quality Control (QC) di wilayah timur Indonesia. Tepatnya di Pulau Kei Kecil, Kabupaten Maluku Tenggara, Provinsi Maluku. Ini menjadi perjalanan QC terpanjangku sejak keterlibatanku dalam Program THK sejak tahun 2019.

Penduduk setempat menyebut kepulauan ini dengan nama Nuhu Evav atau Kepulauan Evav. Sebelah barat kepulauan ini berbatasan dengan Kepulauan Aru, dan di timur laut berbatasan dengan Kepulauan Tanimbar. Ada dua moda transportasi untuk menuju pulau seluas 399 km persegi ini, yaitu penerbangan udara dan penyeberangan laut. Keduanya hanya bisa dilakukan dari Ambon, Maluku.

Bukan waktu yang menenangkan sebenarnya terbang ataupun berlayar ke pulau kecil ini di Bulan Mei. BMKG Maluku Tenggara memperkirakan bahwa angin bertiup menuju Barat Laut dengan kecepatan 10 hingga 15 knot atau 20 km per jam, dengan tinggi gelombang 1.25 hingga 2.50 meter. Selain itu juga diwaspadai adanya potensi cuaca ekstrem yang diakibatkan oleh Bibit Siklon Tropis 91P di wilayah Kepulauan Kei.

THK 1445 H di Pulau Kei
Anak-anak Pulau Kei sedang asik bermain di laut.
THK 1445 H di Pulau Kei
Aktivitas masyarakat Kei di pinggir-pinggir laut.

Baca juga: Ikut Pelatihan Menulis Konten Kreatif, Tim QC THK Siap Tebar Pesan Menarik

Masyarakat Kei menyebut musim di bulan-bulan sekarang ini dengan Musim Angin Timur atau Angin Muson Timur. Di musim ini, masyarakat cenderung tidak akan melakukan aktivitas di laut, baik untuk berlayar mencari ikan ataupun hanya sekedar menyeberang.

Tiba di tanah Kei pada Senin (20/5/2024), aku dan tim bertemu dengan Jamaluddin, mitra Dompet Dhuafa Maluku di Pulau Kei. Sudah beberapa kali Dompet Dhuafa menyalurkan program sosial melalui tangan Jamal. Namun, belum untuk THK.

Ditemani Jamal, kami mengunjungi beberapa ohoi (desa) di pinggir-pinggir kabupaten. Tujuannya untuk dua hal, yaitu mencari sapi-sapi kurban sekaligus melakukan QC. Kedua, melakukan asesmen terhadap calon penerima manfaat kurban.

Berbeda dengan QC yang dilakukan oleh kebanyakan Tim THK di wilayah barat dan tengah yang hewan-hewannya berada di kandang warga atau di Sentra Ternak DD Farm. Di wilayah Indonesia Timur, tim biasa melakukan QC di alam lepas. Ini karena bukan menjadi kebiasaan masyarakat mengikat hewan ternak di kandang. Termasuk sapi-sapi ternak yang dibiarkan secara lepas di alam bebas. Meski terkadang tetap diikat di pohon atau batu besar.

Tebar Hewan Kurban 1445 H di Pulau Kei
Pak Jamal (tengah) menjelaskan kriteria-kriteria sapi kurban Dompet Dhuafa sebelum melakukan uji mutu.
Tebar Hewan Kurban 1445 H di Pulau Kei
Calon sapi THK Dompet Dhuafa di Pulau Kei, Maluku.

Proses QC Sapi Kurban

Menuju Kecamatan Ibra, kami menemui tokoh agama setempat, yaitu Ustaz Anwar. Kepada kami, ia menunjukkan beberapa sapi ternak milik warga yang sekiranya siap dikurbankan. Meski memang sapi-sapi jantan itu terlihat cukup besar dan sehat, juga sudah berusia dua tahun lebih, namun sebagaimana proses QC, Pak Jamal tetap harus melakukan setiap tahapan pengecekan.

Sapi jantan pertama yang dicek bernama Kula. Dua jam lamanya, Pak Jamal dan Ustaz Anwar berputar-putar mencoba mendekati Kula untuk mengukur panjang badan dan lingkar dada. Tidak agresif memang, namun Kula enggan didekati oleh orang. Wajar saja, sapi hitam kemerahan itu tidak banyak bertemu orang. Mungkin hanya si pemiliknya saja yang terkadang datang menyapanya.

Khawatir makin banyak waktu terbuang, Ustaz Anwar memanggil Linda Selayar (35), pemilik Kula. Benar saja, tak ada rasa khawatir dan curiga dari Kula tatkala Linda mendekat. Segera Pak Jamal menghampiri untuk menyodorkan alat ukur. Sementara itu, semua orang di situ, selain Linda, harus bersembunyi di semak-semak agar tak terlihat oleh Kula. Didapatkan panjang badan 150 cm dan lingkar badan 160 cm. Dengan perhitungan sebuah rumus QC matematika, maka didapatkan berat Kula adalah pada kisaran 350 kg. Dengan begitu, Kula dinyatakan lolos QC dan sudah siap menjadi hewan persembahan bagi umat muslim kepada Allah Swt.

Baca juga: THK Dompet Dhuafa Beri Banyak Kebaikan di Perbatasan Indonesia-Malaysia

Tebar Hewan Kurban 1445 H di Pulau Kei
Dengan begitu tenang, Linda mengukur bobot Kula.
Tebar Hewan Kurban 1445 H di Pulau Kei
Tim QC Dompet Dhuafa harus bersembunyi di semak-semak agar Kula dapat diukur dengan tenang oleh Linda.

Sama halnya dengan sapi kedua yang juga milik Linda, berhasil dinyatakan lolos QC. Namun, tidak untuk sapi ketiga. Sebab betina, maka tim tidak melakukan QC karena sudah barang tentu tidak menjadi kriteria hewan THK Dompet Dhuafa.

Bergeser 200 meter, kami menemui peternak lain, yaitu Mahmud Renwarin. Ia memiliki lima sapi, dua di antaranya betina, selebihnya jantan. Namun satu dari tiga jantan, masih berumur di bawah dua tahun.

Kali ini proses QC lebih mudah, sebab Mahmud yang langsung melakukan pengukuran. Selain itu, sapi-sapi miliknya baru saja mendapatkan pengecekan kesehatan dari Dinas Kesehatan setempat. Alhasil, secara kualifikasi THK Dompet Dhuafa, dua sapi jantan milik Mahmud lolos QC.

“Yang ini namanya Dodi. Usianya hampir tiga tahun. Baru saja satu bulan yang lalu dicek Dinas Kesehatan. Alhamdulillah, sehat semua,” ucapnya sambil mencoba mengukur lingkar dada dan panjang badan Dodi.

Tebar Hewan Kurban 1445 H di Pulau Kei
Tim QC THK Dompet Dhuafa bersusur dengan menaiki bukit untuk melakukan pengukuran terhadap sapi di Pulau Kei.
Tebar Hewan Kurban 1445 H di Pulau Kei
Salah satu calon sapi THK Dompet Dhuafa di Pulau Kei, Maluku.

Proses Asesmen Penerima Manfaat

Hari berikutnya, kami lanjutkan perjalanan untuk mencari lokasi-lokasi distribusi hewan kurban. Ibra merupakan desa dengan masyarakat muslim yang cukup antusias melaksanakan ibadah kurban. Maka itu, bukan menjadi prioritas sasaran penerima manfaat THK.

Proses asesmen penerima manfaat kami mulai dari yang paling ujung Pulau Kei Kecil, yaitu Ohoiwirin. Di ohoi ini, tak terlihat ada sapi atau kambing berkeliaran. Ternyata memang sangat jarang ada kurban di desa ini. Ditambah muslim menjadi umat minoritas di sini. Tidak adanya kurban dilatarbelakangi oleh kurangnya kesadaran atas itu, juga kondisi ekonomi.

Mayoritas masyarakat Ohoiwirin adalah nelayan. Beberapa mungkin memilih menjadi buruh serabutan. Di musim angin timur seperti saat ini, mereka sangat enggan untuk melaut.

Baca juga: THK Gerakkan Peternakan Rakyat dengan 3 Pasti

Tebar Hewan Kurban 1445 H di Pulau Kei
Budidaya rumput laut adalah aktivitas masyarakat Kei di pinggir-pinggir laut.
Tebar Hewan Kurban 1445 H di Pulau Kei
Budidaya rumput laut adalah aktivitas masyarakat Kei di pinggir-pinggir laut.

Dua jam dari Ohoiwirin, kami tiba di sasaran distribusi selanjutnya, yaitu Ohoidertawun. Tokoh agama Islam setempat, Ahmad Albar, menyambut hangat kedatangan kami. Sebagai Imam, julukan tokoh agama Islam di sana, ia memahami betul kondisi warganya. Menurutnya, kegiatan kurban sangat jarang ada di Ohoidetawun. Sama halnya di Ohoiwirin, selain faktor ekonomi masyarakat, minor pun menjadi faktor lainnya. Ditambah lokasinya yang lumayan jauh dari kota.

“Jarang sekali di sini ada kurban. Mungkin kesadarannya yang belum tinggi. Selain itu juga karena kondisi ekonomi masyarakat. Kalaupun ada kurban, biasanya sumbangan dari pemerintah daerah. Itu pun tidak setiap tahun. Terakhir, tahun lalu ada dari pemerintah satu kambing. Karena tidak mungkin dibagi-bagi dagingnya, tidak akan cukup, jadi kami ramai-ramai saja masak bareng. Setelah itu baru dibagikan di mangkok-mangkok ke rumah-rumah,” jelasnya.

Tebar Hewan Kurban 1445 H di Pulau Kei
Imam Albar sedang mencari ikan saat meti (fenomena surutnya air laut) di malam hari.
Tebar Hewan Kurban 1445 H di Pulau Kei
Bertemu sapa dengan masyarakat Ohoidertawun.

Masyarakat muslim di desa ini hanya ada 37 keluarga yang bermukim di 27 rumah. Ini karena satu rumah bisa saja diisi oleh lebih dari satu keluarga. Meski begitu, toleransi antar masyarakat beragama di desa ini sangat tinggi. Bahkan Kementerian Agama pun menjulukinya sebagai desa moderasi.

Keseharian masyarakat Ohoidertawun adalah ke laut untuk mencari ikan. Selain itu, mereka menabur bibit rumput laut sebagai cara lain mendapatkan uang. Mulyadi Kilmas (52) adalah salah satu yang melakukannya.

Mulyadi tinggal di sebuah rumah kayu kecil. Kami mencoba berinteraksi lebih dalam. Didapati, rumah itu diisi oleh 10 jiwa dengan empat kepala keluarga. Tak ada yang salah dalam kehidupan mereka. Pun tak ada keinginan tinggi di benak mereka. Mereka adalah orang-orang pandai bersyukur dengan segala kesederhanaannya.

Tebar Hewan Kurban 1445 H di Pulau Kei
Fenomena meti dimanfaatkan oleh warga untuk mencari ikan.
Tebar Hewan Kurban 1445 H di Pulau Kei
Bertemu sapa dengan keluarga pak Mulyadi di rumahnya.

Baca juga: Peran THK Dompet Dhuafa dan Pesan dari Mualaf Perbatasan Negeri di Pulau Timor

Justru, aku lah yang harus dikasihani. Hidup dengan banyak fasilitas di kota, tak menjadikanku setenang mereka. Kesempatan mendatangkan hewan di desa ini, tak akan kulewatkan sebagai bentuk rasa kasihanku terhadap diriku sendiri.

“Tidak ada yang makan daging di sini. Hewannya saja tidak ada. Di sini orang-orang ya makan ikan. Kadang jagung, kadang embal (singkong). Pernah ada daging kambing karena ada yang ngasih kurban tahun lalu. Tapi tidak banyak. Hanya semangkok untuk serumah,” ucap Mulyadi.

Pantai Ohoidertawun adalah pantai dengan meti (surut air laut) terjauh di Indonesia. Biasanya meti berlangsung pada malam hari. Fenomena ini dimanfaatkan oleh masyarakat untuk mencari ikan yang terjebak meti. Begitu pun Mulyadi. Setiap malam, ia pergi berjalan kaki sejauh dua kilometer dari bibir pantai untuk menangkap ikan-ikan yang terperangkap.

Gandeng Mimi Campervan Sukseskan THK

Perjalanan Tim THK di Pulau Kei Kecil ini turut didampingi oleh seorang wanita pegiat sosial, yaitu Mimi Campervan, begitu julukannya di dunia maya. Wanita asal Sumatra Barat itu telah 13 bulan berkelana di wilayah timur Indonesia, melakukan aksi-aksi sosial. Kolaborasi Dompet Dhuafa dengannya ini diharapkan akan makin meluaskan manfaat THK di wilayah timur, khususnya di Pulau Kei Kecil.

Tebar Hewan Kurban 1445 H di Pulau Kei
Mimi ikut membantu salah satu warga Ohoidertawun melakukan panen rumput laut.
Tebar Hewan Kurban 1445 H di Pulau Kei
Keseruan Mimi bersama anak-anak Kei bermain dengan drone-nya.

“Senang sekali bisa berkolaborasi dengan Dompet Dhuafa. Saya ikut setiap kecil tahapan QC THK ini. Di situ saya baru tahu, ternyata Dompet Dhuafa dalam menjaga kualitas hewan kurban sangat detail. Kemudian untuk menentukan penerima manfaat, kami melakukannya dengan mengunjungi rumah-rumah, menyapa mereka, ikut kegiatan mereka, bahkan ikut merasakan makanan yang sehari-hari mereka makan,” ucap Mimi.

Tak ragu-ragu, Mimi mengajak sahabat-sahabat sosial medianya untuk ikut ambil bagian dari kebaikan THK di Pulau Kei ini. Dalam proses pelaksanaan kurbannya pun nantinya ia langsung yang akan mengawal hingga daging-daging itu sampai di tangan para penerima manfaat.

Sahabat Dompet Dhuafa dan Sahabat Mimi Campervan! Yuk, jangan lewatkan kesempatan kurban bareng Mimi di wilayah timur Indonesia. (Dompet Dhuafa)

KURBAN BERSAMA DOMPET DHUAFA SAMPAI KE PELOSOK

Teks dan foto: Riza Muthohar
Penyunting: Dhika Prabowo, Ronna