JAWA BARAT — Di sudut perbatasan kota dan Kabupaten Bandung, ada sebuah lingkungan yang tidak begitu mengutamakan pendidikan tinggi. Di sanalah anak-anak lebih sering berhenti belajar setelah SMP atau SMA, lalu segera terjun ke dunia kerja. Namun di antara keterbatasan itu, muncul seorang pemuda bernama Koko Iwan Agus Kurniawan yang bertekad menempuh pendidikan setinggi-tingginya.
Koko, putra seorang buruh pabrik tekstil, menyerap motivasi nonmateri dari ayahnya untuk terus bermimpi besar. Sebagai anak sulung dari tiga bersaudara, ia memikul tanggung jawab moral menjadi teladan bagi adik-adiknya. Di sekolah, prestasinya bersinar terang sebagai juara kelas selama tiga tahun berturut-turut, menjadi perwakilan olimpiade, hingga kerap kali meraih juara lomba keterampilan.
Namun, jalan menuju perguruan tinggi tak semulus yang dibayangkan. Dua kali mencoba masuk PTN dan dua kali pula ia gagal. Kecewa, Koko sempat bekerja sebagai Pengajar di Robotic School dan sebagai Retoucher di bidang fotografi pernikahan, sambil kuliah di sekolah tinggi swasta di Dago, dengan jurusan Informatika. Tetapi, lelahnya jarak tempuh antara pekerjaan dan kuliah membuatnya menyerah.
Namun semangat itu tak padam. Untuk ketiga kalinya, Koko mencoba, kali ini di Universitas Padjadjaran (UNPAD) Bandung. Dengan tekad bulat, ia mengajukan Beasiswa Bidikmisi meski dalam kondisi fisik lemah akibat gejala tifus. Bersama ibunya, ia berjuang dan akhirnya diterima. Di UNPAD, Koko tak hanya fokus pada akademik, ia juga aktif sebagai Ketua Badan Perwakilan Mahasiswa (BPM), memperdalam wawasan kepemimpinan melalui Beasiswa Aktivis Nusantara (BAKTI NUSA) Dompet Dhuafa, serta menulis buku berjudul Sociopreneur Millennial atas bimbingan Dr. Dwi Purnomo. Buku inilah yang menjadi cikal bakal ide kolaborasi bisnis pemberdayaan desa dan kota terus berkembang.
Selain itu, perannya dalam berbagai proyek sosial melalui BAKTI NUSA #5, membuat Koko banyak belajar tentang pentingnya aksi sosial sebagai nilai yang melekat pada setiap langkahnya. Ia terlibat dalam program-program pengembangan masyarakat yang menambah kedalaman pemahamannya tentang kepemimpinan berkelanjutan.
Petualangan Koko lalu berlanjut hingga Thailand, tempat ia melanjutkan studi S2 di Kasetsart University. Di Negeri Gajah Putih itu, ia aktif sebagai Wakil Ketua PERMITHA, yang juga menginisiasi gerakan sosial berbagi 1.000 sepatu untuk yatim dan dhuafa. Di negeri tersebut ia juga bertemu dengan Dr. Mohammad Yunus, peraih Nobel Perdamaian, yang memberikan inspirasi tentang pentingnya menciptakan dampak sosial melalui pendidikan. Inspirasi ini memacu Koko untuk menggali lebih dalam konsep sociopreneurship yang telah ia pelajari sejak pertama kuliah.
Koko kemudian menapaki jenjang S2-nya dengan fokus pada penelitian perusahaan sosial dan keberlanjutan terhadap UMKM lokal. Ia juga mengajar bahasa Inggris paruh waktu, membiayai hidup sambil memperluas jejaring sosial. Tantangan makin besar saat ia melanjutkan studi doktoral di Jepang dengan beasiswa MEXT, berpindah-pindah antara University of Tsukuba dan Kyoto University. Perjalanan antaruniversitas yang berjarak lebih dari 500 kilometer itu menjadi tantangan tersendiri. Namun, Koko menjalaninya dengan semangat. Budaya disiplin dan kerja keras di Jepang memperkuat karakter Koko, membuatnya makin tangguh menghadapi berbagai tantangan. Selain itu, Koko juga aktif di PPLN Osaka sebagai anggota yang berkutat dengan data dan informasi.
Di Jepang, ia mendalami riset tentang biofuel dari alga yang memanfaatkan air limbah sebagai media kultivasi, dengan tujuan untuk menciptakan solusi energi berkelanjutan. Selain itu, ia turut terlibat dalam berbagai proyek lingkungan, salah satunya adalah proyek penghijauan menggunakan Metode Miyawaki di Gunung Tsukuba bersama PPI Ibaraki dan beberapa komunitas local di Kota Tsukuba. Dari proyek ini, ia makin memahami pentingnya peran manusia dalam menjaga keseimbangan ekosistem, serta bahwa upaya kecil dalam menjaga lingkungan dapat membawa dampak besar.
Baca juga: ETOS ID dan BAKTI NUSA, Dua Beasiswa Dompet Dhuafa untuk Mahasiswa
Namun, tantangan terbesar datang saat istrinya terdiagnosis kanker tiroid. Koko harus membagi waktu antara penelitian, studi, mengasuh anak yang masih berusia dua tahun, dan mendampingi istrinya menjalani perawatan di Jepang. Keberhasilan operasi istrinya menjadi bukti kekuatan dukungan keluarga dan keteguhan hati mereka dalam menghadapi cobaan.
Kini, Koko adalah seorang dosen di UNPAD. Ia melihat dunia dengan perspektif lebih luas. Mengajar baginya adalah membentuk karakter dan memberi dampak sosial. Mimpinya sederhana namun besar, yaitu membangun ekosistem pemberdayaan pemuda di bidang Sustainable Agro Industry, terinspirasi dari The Local Enablers Ecosystem. Ia memulai proyek Co-Food, dengan salah satu inovasinya adalah ATM beras portable untuk ketahanan pangan masyarakat di masa pandemi.
Bukan hanya itu, Koko Kembali terlibat dalam penelitian tentang biofuel yang menggunakan alga untuk menghasilkan energi ramah lingkungan. Penelitiannya di IPAL Bojongsoang, Bandung, berfokus pada pemanfaatan air limbah sebagai media kultivasi alga guna mendukung keberlanjutan energi. Keinginannya adalah menciptakan solusi inovatif yang tak hanya berdampak bagi akademisi, tetapi juga bagi masyarakat luas.
Melihat perjalanan panjangnya, Koko tetap berpegang pada prinsip bahwa pendidikan adalah kunci perubahan. Ia bercita-cita untuk menciptakan lingkungan belajar yang mendorong kolaborasi, inovasi, dan pemberdayaan. Koko ingin melanjutkan proyek-proyek sosialnya, memperluas dampak dari program-program yang telah ia mulai, dan menginspirasi generasi muda untuk tidak takut bermimpi besar.
Kisah Koko Iwan adalah bukti bahwa mimpi besar bisa bermula dari langkah kecil di pinggiran kota. Bahwa dengan tekad, kesabaran, dan sedikit keberanian, keterbatasan tak lagi jadi penghalang. Setiap langkah kecilnya adalah bagian dari perubahan besar yang ingin ia lihat di dunia. Dan ia terus melangkah, tanpa gentar, membawa harapan bagi generasi muda yang tak takut bermimpi besar. (Dompet Dhuafa)
Teks dan foto: Riza Muthohar, GREAT Edunesia
Penyunting: Dhika