JAKARTA — Piatu sejak umur 6 (enam) bulan, yatim sejak kelas 4 SD, Dila Adelina (18) hidup dengan segala keterbatasan neneknya. Sama sekali tak sempat mengenal sosok ibunya, Dila menganggap neneknya adalah karakter ibunya. Wanita yang sangat tangguh, pejuang keluarga, tak pernah mengeluh, selalu semangat, ramah, berhati luas, dan yang paling penting adalah sangat sayang dengan keluarga dan anak-anaknya.
Sejak ditinggal oleh ibu dan ayahnya, Dila beralih dibesarkan oleh neneknya. Di salah satu gang padat di Kelurahan Galur, Kecamatan Johar Baru, Jakarta Pusat, Dila dan neneknya tinggal di sana. Rumah berukuran kecil tanpa teras dan dapur itu ternyata bukan mereka saja yang menempatinya, melainkan ada 4 (empat) KK yang tercantum di sana. Jika dihitung, lebih dari 30 pasang mata yang terpejam ketika malam hari di rumah tersebut.
Bagaimana bisa rumah sekecil itu ditempati oleh 4 KK. Sang nenek, Jaeni (85) menjelaskan, “Di atas disekat menjadi tiga kamar. Kalau yang bawah ini ya buat segala aktivitas. Buat simpan pakaian, buku anak-anak, kumpul keluarga, ruang tamu, dan semuanya. Yang di atas buat tidur saja untuk beberapa orang. Yang lain ya tidur seadanya di bawah ramai-ramai”.
Jaeni mengaku, sudah sejak lahir dirinya tinggal di sana hingga kini ia memiliki cucu-cucu dan cicit yang tinggal di sana juga. Keempat keluarga yang tinggal di rumah itu merupakan keluarga dan anak-anaknya. Tak hanya tempat tinggal yang bertahan sampai saat ini, pekerjaannya sebagai pedagang gorengan dan aneka minuman pun masih dilakukannya hingga detik ini. Segala yang masuk ke dalam perut Dila pun merupakan hasil dari warung kecil tanpa batas dinding yang terletak tepat depan rumahnya.
“Begini lah Dila dan lainnya bisa hidup sampai saat ini,” ucap sang nenek.
Dila sangat bersyukur memiliki nenek dan keluarga yang sangat sayang dengan keluarga. Apa yang diajarkan sang nenek untuk terus merasa bersyukur, tertanam di kehidupan Dila. Di sekolah dan di lingkungan pertemanannya, Dila tak pernah merasa minder dan malu terhadap kehidupan yang dijalaninya. Apa pun kondisi keluarganya, tak menyurutkan tekat Dila untuk terus berkembang.
Namun tak bisa dipungkiri, kekurangan uang dapat menghambat laju kehidupan. Setahun belakangan, mungkin akibat pandemi juga, keluarga Dila semakin mengalami pahitnya pemasukan. Terlebih ia harus membelanjakan lebih banyak uang untuk membeli kuota internet guna kebutuhan pembelajaran. Tercatat oleh sekolahnya, Dila menunggak pembayaran SPP hingga 7 (tujuh) bulan.
Di samping itu, kebutuhan biaya di akhir masa studi sekolah menengah bertambah banyak dengan adanya berbagai tahap syarat kelulusan. Alhasil karena tak mampu membayar, Dila menunggak biaya SPP dan kelulusan sebesar lebih dari 5 (lima) jutaan. Akibatnya, ijazah Dila ditangguhkan oleh pihak sekolah hingga Dila melunasi semua tunggakannya. Padahal Dila sangat membutuhkan lembar bukti pendidikan tersebut untuk melamar pekerjaan supaya tidak membebankan lagi kepada neneknya.
Dompet Dhuafa melalui salah satu jaringan Lembaga Pelayan Masyarakat (LPM), yaitu Komunitas Cahaya Langit, mendapat kabar tersebut. Tim LPM kemudian berupaya menghubungi pihak sekolah untuk melakukan “Tebus Ijazah” milik Dila. Pada Jumat (15/10/2021), tim Dompet Dhuafa mengajak Dila ke sekolahnya untuk menebus dan mengambil ijazah, sekaligus silaturrahmi dengan keluarga Dila.
Hal ini menjadi sesuatu yang melegakan Dila dan neneknya. Setelah sekian lama pusing bagaimana cara menebus ijazahnya, ternyata para donatur Dompet Dhuafa dengan ringan tangan bersedia membantunya.
“Senang sekali rasanya akhirnya ijazah saya bisa ditebus. Jadi saya bisa melamar kerja buat bantu ekonomi keluarga,” ucap Dila senang.
Dila merasa bantuan tebus ijazah ini merupakan hal yang sangat besar baginya. Kerap berulang ucapan terima keluar dari bibir anak terakhir dari tiga bersaudara ini. Tak banyak yang ia harapkan setelah ia dapatkan ijazahnya. Yang ia sangat inginkan hanyalah dapat segera mendapat pekerjaan untuk membantu ekonomi keluarga. Tekadnya hanya ingin kelak membuat orang yang merawat dan membiayainya hingga detik ini bangga dengan kemadirian dan keteguhan Dila sebagai cucu yang mewarisi karakter nenek dan ibunya.
Keinginannya untuk melanjutkan studi di perguruan tinggi sangat besar sebenarnya. Namun apa daya, karena berbenturan dengan biaya hidup, seperti halnya kakak-kakaknya, menjadikan keinginannya itu sementara ia pendam. Setelah semuanya dirasa stabil, Dila meyakinkan diri untuk akan malanjutkan belajar di bangku kuliah. Ia pun mengaku sadar, bahwa sekarang ini sekolah di tingkat SMA/SMK saja belum cukup. Pendidikan di tingkat perguruan tinggi harus ia capai untuk menunjang kehidupannya dan generasi-generasinya kelak.
Dila pun tercatat sebagai siswi yang aktif di sekolah. Kegiatan-kegiatan sekolah selalu ia ikuti, bahkan ia juga aktif di keorganisasian Palang Merah Remaja di sekolahnya. Selain itu, perlombaan-perlombaan seperti baris-berbaris dan lainnya kerap ia ikuti.
“Ini bisa dapat dapat ijazah saja sudah sangat senang kak. Doakan mudah-mudahan segera saya dapat pekerjaan untuk bantu nenek. Mudah-mudahan kelak saya juga bisa melanjutkan kuliah,” tutup Dila. (Dompet Dhuafa / Muthohar)