JAKARTA — Baru-baru ini publik kembali bertanya-tanya, perihal menangnya sebuah acara televisi yang dianggap tidak mendidik dalam sebuah ajang penghargaan bergengsi. Padahal acara televisi itu kerap kali mendapat teguran KPI. Teguran lantaran seringnya disiarkan konten yang tidak senonoh, kata-kata kasar, makian, dan guyonan yang tidak mendidik. Bukan hanya acara TV, konten-konten negatif pun banyak disajikan oleh film-film layar lebar. Bahkan beberapa tahun lalu, bioskop sebagian besar dihiasi dengan poster film-film mistis porno. Hal ini tentu meresahkan masyarakat khususnya orangtua yang memiliki anak-anak.
Dalam Focus Group Discussion mengenai “Mendukung Konten Positif Melalui Film untuk Anak-Anak dan Remaja Indonesia,” yang dilaksanakan di Kantor Harian Republika pada Kamis (3/11) yang lalu, beberapa tokoh memaparkan pandangannya mengenai hal ini. Prof.Euis Sunarti, Dosen IPB dan pegiat keluarga, menuturkan bahwa media massa adalah wahana strategis yang dapat mempengaruhi tumbuh kembang anak. Terlebih melihat kondisi keluarga saat ini yang seolah memaksa anak untuk ‘tumbuh sendiri’, membuat media massa menjadi salah satu yang berperan besar dalam kehidupan anak. Sayangnya, media massa dewasa ini banyak sekali memuat konten negatif baik acara TV, lagu-lagu, maupun film.
Senada dengan pernyataan Prof.Euis Sunarti, Helvy Tiana Rosa, seorang penulis kawakan yang kini merambah ke dunia produksi perfilman, menyatakan bahwa kini sangat sulit untuk memproduksi konten positif khususnya film. Berkaca dari pengalamannya, dalam memproduksi film dengan konten positif masih sangat sulit mendapatkan sponsor dan ‘naik ke layar’. Hal ini dikarenakan masih banyak pihak sponsor yang menganggap bahwa film dengan konten positif tidak akan laku di pasaran.
Masih senada dengan dua pernyataan sebelumnya, Bambang Suherman, Direktur Mobilisasi ZIS Dompet Dhuafa, memandang hal tersebut dari sisi lain. Menurutnya, yang perlu menjadi perhatian bukan saja anak-anak yang berasal dari keluarga mampu. Namun juga mereka yang berasal dari keluarga tidak mampu, yang banyak dari orangtuanya, bahkan anak itu sendiri sibuk dalam urusan ekonomi mereka. Tenaga mereka digunakan untuk berkonsentrasi memikirkan bagaimana untuk bertahan hidup. Anak-anak yang berasal dari keluarga seperti inilah yang menjadi mangsa empuk konten-konten negatif. Orangtua mereka tidak lagi peduli dengan informasi yang diterima. Selain itu, anak-anak dari keluarga tidak mampu juga tidak mempunyai akses kepada konten-konten positif.
Rumitnya permasalahan ini, membuat kita sampai pada satu kesimpulan bahwa ini bukan hanya tugas KPI atau orangtua saja. Mengutip pernyataan Prof.Euis, bahwa untuk mendidik anak membutuhkan ‘orang satu kampung’. Hal itu benar adanya, bahwa butuh lebih banyak pihak untuk bekerjasama menuntaskan permasalahan ini. Sebut saja dari pihak pembuat film, korporasi-korporasi sponsor, komunitas-komunitas, dan juga lembaga-lembaga nirlaba. Dan kerjasama itu haruslah dalam bentuk riil untuk mendorong dan mendukung produksi media dengan konten-konten positif. (Dompet Dhuafa/Dea)