JAKARTA — Kedaulatan pangan atau food security telah lama menjadi salah satu isu penting. Dengan banyaknya lahan pertanian yang beralihfungsi. Menjadi kekhawatiran sendiri bagi pengamat dunia pertanian. Tanpa terkecuali M.Sabeth Abilawa, ME selaku Peneliti dan Rektor Dompet Dhuafa University dalam pemaparannya pada diskusi bedah buku “Wakaf Pertanian: Model Pengembangan Komoditas Nanas, Padi, dan Sawit” di Bakso Boedjangan Pejaten, Pasar Minggu, Jakarta Selatan, beberapa waktu lalu.
“Jadi riset ini untuk mengukur dampak sosial dari keberadaan program-program wakaf yang basisnya pertanian. Karena di Indonesia ini yang jamak terjadi biasanya wakaf bukan di bidang pertanian, tetapi di pendidikan, pemakaman, dan wakaf tunai yang digaungkan banyak orang. Tetapi secara perkembangan masih belum terlalu signifikan. Nah kita mau memotret wakaf dari sisi pertanian karena sebenarnya tradisi ini sudah hidup di masyarakat. Terutama di kalangan pesantren-pesantren besar yang banyak dibiayai sebagian dari portofolio sumber dayanya berasal dari pengelolaan tanah-tanah pertanian mereka. Di antaranya ada Pesantren Gontor dan juga Pesantren Hidayatullah serta masih banyak lagi lainnya. Dompet Dhuafa sendiri pada 2012 baru memulai pembelian lahan di Subang, melalui program Indonesia Berdaya,” ujar Sabeth.
Data dari Kementerian Agama di 2016 menunjukkan Indonesia memiliki tanah wakaf seluas 4.359.443.170 meter persegi yang tersebar di 435.768 lokasi. Luasan tersebut setara dengan lima kali wilayah negara Singapura.
“Kalau kita belajar program wakaf yang paling berhasil menurut Saya ialah Singapura. Karena ia memiliki property yang bagus. Tapi Singapura ini berhasil secara pengembangan dan pengelolaan wakaf-wakaf aset, karena tanahnya sedikit. Sedangkan Indonesia sangat luas sekali. Tapi kita ingin mencoba mengejar Singapura dengan pengelolaan ke arah yang sama. Menurut saya, tidak harus seperti itu. Maka pertanyaannya harus dipikirkan oleh pegiat wakaf. Jadi kalau kita tidak merambah ke pertanian dan kita hanya sibuk di kampanye wakaf uang dan sebagainya. Boleh jadi itu bukan model terbaik untuk Indonesia,” lanjut Sabeth.
Dalam statistik yang dikaji oleh Dompet Dhuafa, Wakaf untuk masjid masih mendominasi sekitar 44,93%, sementara wakaf untuk mushala 28,80%, sekolah 10,41%, makam 4,63% dan pesantren 2,98% untuk sosial lainnya 8,25%. Salah satu tantangannya ialah bagaimana membalikan proporsi tersebut menjadi lebih banyak ke arah produktif.
“Kenapa harus bicara wakaf lahan pertanian? Pertama, karena dengan merenungkan ini sebagai salah satu prioritas untuk program wakaf, kita akan membentengi alih fungsi lahan-lahan produktif di Indonesia. Seperti yang kita ketahui bersama kalau kita tinggal di daerah-daerah Jabodetabek, kita akan tahu persis bagaimana konversi lahan besar-besaran menjadi property atau real estate. Ini merupakan kerugian yang sangat berdampak jangka panjang. Jadi program infrastruktur yang dikampanyekan pemerintah itu baik di satu sisi, tapi berdampak sosial ke yang lain. Misalnya menciutnya tanah-tanah pertanian di Jawa. Belum kalau berbicara Kalimantan dan Sumatera yang konversinya gila-gilaan. Dampak jangka panjangnya adalah kita akan tergantung terhadap impor dan cukup aneh untuk negara seluas Indonesia itu harus impor dari negara lain untuk pangan. Kedua, terkait kedaulatan pangan. Jika membicarakan untuk melindungi tanah-tanah produktif dari konversi menjadi real estate atau infrastruktur yang lain. Maka wakaf yang bisa menjaganya. Karena iming-iming keuntungan ekonomi kapitalisme bisa dibentengi dengan wakaf. Misalnya begini, kalau kita lihat ada tanah produktif beberapa masih menyisakan tanah wakaf di tengah-tengahnya. Artinya wakaf masih bisa bertahan,” tutup Sabeth.
Diskusi yang bertajuk “Wakaf Pertanian: Peluang dan Tantangannya” ini turut juga menghadirkan Tendy Satrio (Praktisi Wakaf Pertanian), Bobby P. Manullang (GM Wakaf Mobilization Dompet Dhuafa), dan Fahrurozi (Wakil Sekertaris Badan Wakaf Indonesia). (Dompet Dhuafa/Fajar)