JAKARTA — “Wakaf sebagai gaya hidup,” rasanya tagline ini sudah sering kita dengar dalam berbagai kesempatan kampanye wakaf. Pertanyaan kritisnya, apakah tagline itu sebuah spirit gerakan ataukah sebatas menjadi jargon?
Jika kita membaca dan mengamati perkembangan wakaf sampai saat ini, rasanya tagline wakaf sebagai gaya hidup masih menjadi jargon. Pemanis dalam setiap kampanye wakaf. Namun, tidak ada kajian dan riset mendalam, yang kemudian diturunkan menjadi strategi edukasi wakaf.
Mengapa perlu kajian dan riset mendalam? Gaya hidup hanyalah penampakan luar dari kepribadian manusia yang kompleks. Menurut Kotler dan Keller, gaya hidup adalah pola hidup seseorang dalam kehidupan yang diekspresikan dalam aktifitas, minat, dan opininya. (Kotler dan Keller, 2012, h. 192).
Kita tidak bisa mengubah gaya hidup seseorang atau masyarakat tanpa mempengaruhi faktor intrinsiknya. Sebagai contoh, mengapa orang lebih memilih mengalokasikan uangnya untuk nongkrong di kedai kopi eksekutif atau restoran mahal, ketimbang untuk berwakaf? Penampakan luarnya adalah gaya hidup. Namun, gaya hidup ngopi dan makan elitis tersebut didorong oleh kepribadian dari dalam.
Kita pernah mendengar kampanye, wakaf semudah minum kopi. Ini berarti upaya mengintervensi aspek ekstrinsik. Kita bisa menganalisis berapa prosentase keberhasilan kampanye tersebut untuk mengubah perilaku dari minum kopi menjadi berwakaf (substitusi) atau minum kopi dan berwakaf (adisi)?
Mengacu pada teori gaya hidup dan kepribadian, peluang keberhasilannya tidak besar. Perubahan perilaku didorong oleh faktor intrinsik. Semestinya, faktor intrinsiklah yang diintervensi secara serius.
Oleh karena itu, setiap lembaga wakaf perlu melakukan kajian dan riset mendalam untuk mengampanyekan wakaf sebagai gaya hidup. Sayangnya tradisi kajian dan riset mendalam belum menjadi budaya dalam dunia perwakafan. Masih kalah jauh dibandingkan dalam dunia korporasi.
Saksamailah betapa seriusnya perusahaan melakukan riset pasar dan perilaku konsumen. Mereka juga mengeluarkan anggaran tidak sedikit serta merekrut konsultan profesional untuk melakukan risetnya. Dari data riset yang dihasilkan, dianalisis dan kemudian dirumuskan strategi edukasi pasar dan produk yang tepat.
Semestinya, lembaga wakaf juga tidak kalah dengan korporasi dalam meriset perilaku dan gaya hidup masyarakat. Melalui riset perilaku dan gaya hidup, kita bisa menganalisis lebih lanjut tipologi kepribadian seseorang dan masyarakat. Dalam hal ini, kita bisa meminjam ilmu psikografik yang mengkaji pengukuran dan pengelompokan gaya hidup masyarakat. (Kotler: 2012, h. 193).
Ketika sudah mendapatkan gambaran umum kepribadian dengan menganalisis lebih lanjut data pengukuran dan pengelompokan gaya hidup masyarakat, kita bisa merumuskan intervensi yang tepat untuk membangun kepribadian berwakaf (wakif personality). Ketika telah terbentuk wakif personality, barulah kampanye hard selling wakaf bisa berjalan efektif.
Untuk membangun wakif personality, kita mesti menerjemahkan ayat-ayat Al-Qur’an terkait prinsip pokok mengelola harta, yaitu husn al-nazhari fi al-iktisab al-mal (kecakapan mencari harta) dan husn al-nazhari fi sharfihi wa fi masharifihi (kecakapan membelanjakan harta pada pos-pos pengeluaran yang tepat).
Kita fokus pada prinsip kedua, yaitu kecakapan membelanjakan harta pada pos-pos pengeluaran yang tepat. Al-Qur’an memberikan kita panduan prinsip sederhana dan tengah-tengah dalam mengelola dan membelanjakan harta.
“Dan (termasuk hamba-hamba Tuhan Yang Maha Pengasih) orang-orang yang apabila menginfakan (harta), mereka tidak berlebihan, dan tidak (pula) kikir, di antara keduanya secara wajar.” (QS. Al-Furqan [25]: 67).
Ayat di atas merupakan lanjutan indikator ‘Ibad Ar-Rahman pada ayat-ayat sebelumnya. Ayat ini berbicara aspek kepribadian muslim. Di antara indikator hamba Allah Yang Maha Pengasih adalah orang-orang yang membelanjakan harta secara pertengahan; tidak boros dan tidak pula kikir. Panggilan ‘Ibad Ar-Rahman adalah apresiasi Allah terhadap hamba-hamba yang baik.
Baca Juga: https://www.dompetdhuafa.org/sejarah-bermulanya-wakaf-uang/
Nah, pertanyaannya adalah bagaimana menerjemahkan kepribadian ‘Ibad Ar-Rahman dalam strategi edukasi yang tepat, sehingga secara bertahap terjadi transformasi kepribadian masyarakat menjadi ‘Ibad Ar-Rahman. Jika masyarakat telah memiliki kepribadian ‘Ibad Ar-Rahman, rasanya tidak sulit untuk mengampanyekan wakaf kepada mereka.
Masyarakat memahami bahwa implementasi ‘Ibad Ar-Rahman dalam kehidupan sehari-hari adalah jika bisa ngopi di kedai sederhana, nggak harus selalu di kedai kopi eksekutif. Jika bisa makan di restoran biasa, nggak harus selalu di restoran mahal. Jika bisa mengendarai mobil Jepang, tidak harus membeli mobil mewah buatan Eropa, meskipun memiliki uang untuk melakukan itu.
Lantas, dikemanakan sisa uang tersebut? Diwakafkan untuk “investasi” akhirat. Kepribadian ‘Ibad Ar-Rahman akan melahirkan gaya hidup sederhana. Pada masyarakat dengan gaya hidup sederhana, insya Allah akan tumbuh dan berkembang perilaku berwakaf.
Aku, menulis di sudut bumi Allah sembari menikmati menjelajahi dunia ide dan pemikiran. (Dompet Dhuafa / Muhammad Syafi’ie el-Bantanie)