JAKARTA — Yasyasan Baitul Mal (YBM) PLN bersama dengan IMZ Dompet Dhuafa menyelenggarakan forum diskusi publik membahas potret kaum marjinal Jakarta, Rabu (7/8/2019), di RM Bumbu Desa, Cikini. Bertajuk “Potret Kaum Marjinal: Dulu, Kini dan Nanti”, YMB menghadirkan lembaga-lembaga terkait sebagai pembicara, di antaranya YMB PLN, Turun Tangan, INDEF, IAEI Jakarta, serta Dinas Sosial DKI Jakarta.
Selain para lembaga terkait, YMB PLN juga mengajak para media dan pihak/komunitas terkait. YBM PLN berikhtiar mengukur kinerja dan capaian yang telah dilakukannya bagi masyarakat, khususnya wilayah Ibukota Jakarta, serta ikut berkiprah mengentaskan Jakarta dari kemiskinan.
Salman Al-Farisi, selaku Deputi Direktur YBM PLN menuturkan YBM PLN sebagai lembaga pengelola zakat di lingkungan PT PLN telah berkhidmat mengangkat harkat dan martabat sosial kemanusiaan kamu dhuafa. Selain itu juga turut mengambil peran dalam usaha meningkatkan kualitas hidup manusia melalui program ekonimi, kesehatan, pendidikan, sosial dan dakwah.
Mariana, selaku Sekretaris Dinas Sosial DKI Jakarta dalam kesempatannya menyebutkan ukuran tingkat kemiskinan di Jakarta masih menganut ukuran skala nasional. Sedangkan tingkat kemiskinan di Jakarta dan di daerah lain tidaklah sama.
Senada dengan Mariana, Yudistira selaku peneliti INDEF mengatakan tingkat kemiskinan di Jakarta tidak dapat disamakan dengan daerah-daerah lain. Apalagi dalam skala nasional. Ia juga mengungkapkan adanya penurunan tingkat kemiskinan di Jakarta tiap tahunnya.
“Tingkat kemiskinan di Jakarta tiap tahun menurun. Namun penurunannya sangat kecil. Hanya 1%, 0,3% dan seterusnya. Padahal pendapatan daerah sangatlah tinggi,” terangnya.
Menurut data INDEF, dari pemetaan kemiskinan di Indonesia, Jakarta merupakan daerah yang sangat rentan miskin. Demikian dikaji dan dipandang melalui multi dimensi yang mana orang miskin dan yang tidak sulit untuk diidentifikasi. Berbeda dengan yang ada di daerah-daerah, orang kaya akan terlihat dari penampilan fisiknya. Selain itu semiskin-miskinnya di daerah mereka tetap tidak kekurangan. Sedangkan di Jakarta orang miskin berlagak hedon, mereka yang memiliki rumah mewah belum tentu kebutuhan perutnya kecukupan. Meski demikian mereka tidak mau dibilang miskin.
Sabeth Alibawa, selaku pengurus Ikatan Ahli Ekonomi Islam menambahkan ketimpangan di Jakarta lebih tinggi dari pada Nasional. Menurutnya persoalan utama dari kemiskinan di Jakarta adalah penggusuran, dilanjut indeks kebahagiaan.
Sabeth menyarankan Gubernur DKI harusnya berkaca pada kota-kota besar di Dunia. Ia juga menegaskan perlunya dibuat rasio kemiskinan.
“Yang perlu dilakukan adalah dibuatnya rasio kemiskinan. Jadi akan diketahui sebenarnya di Jakarta ini satu orang kaya menanggung berapa orang miskin. Sehingga lembaga-lembaga zakat dan filantropi dapat memetakan pembagian bantuannya,” tegas Sabeth.
Hasil diskusi publik tersebut nantinya akan diteruskan pada lembaga masing-masing untuk dikaji lebih dalam. Diharapkan nantinya ada data terpusat dan penghimpunan dana-dana dari LAZ, lembaga filantrofi, CSR perusahaan menjadi satu pintu supaya lebih merata. Sehingga tidak akan terjadi seseorang mendapat bantuan dari beberapa lembaga, sedangkan terdapat orang lain yang tidak mendapat sama sekali. Karena belum terdata. (Dompet Dhuafa/Muthohar)