Zakat Usaha Peternakan Modern dan Pendapat Ulama

Dalam konteks peternakan modern, memahami apa itu zakat menjadi semakin penting, terutama terkait syarat zakat dan pengertian zakat. Jenis zakat yang berlaku pun dapat bervariasi, bergantung pada cara usaha tersebut dikelola, terutama oleh para pekerja yang bertanggung jawab.

Untuk usaha peternakan yang diambil dagingnya atau susu perahannya, ada empat pendapat yang beragam, yaitu sebagai berikut.

  1. Zakat Perniagaan

Cara menghitungnya, semua nilai binatang ternak yang ada plus hasilnya. Bila nilai semuanya mencapai nisab (senilai 85 gram emas murni) dan genap satu tahun, maka dikeluarkan zakatnya 2,5%. Ulama yang sependapat dengan pandangan ini adalah DR. Ahmad al-Kurdi dan DR. Muhammad Ra’fat Usman. Pendapat ini mengukuti salah satu pendapat ulama klasik, yaitu Jalaluddin al-Muhammad dalam Syarh Minhajut-talibin.

  1. Zakat dari Binatang Ternak

Untuk binatang ternaknya, zakat yang dikeluarkan adalah zakat binatang ternak. Sedangkan zakat dari susu hasil perahan adalah zakat perniagaan. Alasan kenapa susu perahannya terkena zakat karena kepemilikan binatang ternak itu untuk diambil hasilnya lalu dijual. Dengan demikian, baginya berlaku hukum zakat barang dagangan.

  1. Zakat atas Kepemilikan Binatang Ternak

Apabila kepemilikan atas binatang ternak itu untuk diambil hasilnya (susu), maka tidak ada kewajiban atas binatang ternaknya. Zakat cukup dikenai pada hasilnya (susu yang diperah). Sistem zakat hasil perahannya adalah zakat emas dan perak. Jika nilai hasil perahan mencapai 85 gram emas, maka zakatnya 2,5%.

  1. Zakat dari Hasil Peternakan

Zakat dikeluarkan dari hasil peternakan itu, bukan ternaknya. Hanya saja, sistem zakatnya adalah zakat madu atau zakat pertanian. Nisabnya senilai dengan 653 Kg gabah kering giling atau setara 522 Kg beras. Prosentase zakatnya 10% setelah dikurangi biaya operasional. Pendapat keempat merupakan pendapat Syekh Yusuf al-Qaradawi di mana sebagian besar lembaga zakat di Indonesia mengikuti pendapat beliau.