Hukum Zakat Piutang dan Perbedaan Pendapat di Antara Para Ulama

zakat-pertanian-jagung

Utang dan piutang memiliki makna yang berbeda. Namun, sebagian orang masih menganggap keduanya adalah hal yang sama. Utang adalah uang yang kita pinjam dari orang lain, kita berkewajiban membayar utang tersebut. Sementara, piutang adalah uang yang kita pinjamkan ke orang lain, kita memiliki hak untuk menagih piutang kepada orang yang meminjam. Lantas, timbul pertanyaan tentang zakat harta. Apakah setiap muslim juga wajib mengeluarkan zakat tersebut? Sebab, piutang adalah harta milik kita, yang kita pinjamkan kepada orang lain.

Zakat Piutang

Seorang muslim yang sudah mencapai akil baligh wajib mengeluarkan zakatnya. Hal ini sesuai dengan rukun Islam yang ketiga. Dalam syariat Islam, ada tiga jenis zakat, yakni zakat fitrah, zakat mal (harta), dan zakat penghasilan. Nah, zakat piutang termasuk ke dalam zakat mal atau zakat harta. Mengapa? Sebab, piutang adalah bagian dari harta yang kita miliki dan dipinjamkan kepada orang lain.

Terkait hukum zakat piutang, para ulama memiliki pendapat yang berbeda-beda. Apakah zakat untuk harta tersebut wajib dibayarkan oleh pemilik piutang, orang yang berutang, atau malah tidak ada kewajiban sama sekali untuk membayarkan zakatnya?

Baca juga: Macam-Macam Zakat dalam Syariat Islam

Pada zakat mal ditetapkan bahwa harta yang kita miliki akan terkena wajib zakat apabila jumlahnya telah setara dengan nilai 85 gram emas dalam waktu satu tahun. Namun, bagaimana jika harta tersebut sebagiannya berada di tangan orang lain atau dalam kata lain menjadi piutang? Dalam kasus ini, ada beragam pendapat dari para ahli hukum Islam antara lain:

Ilustrasi seorang muslim menghitung zakat piutang

  • Pendapat Imam Malik

Imam Malik berpendapat bahwa piutang yang berada dalam kekuasaan dan genggaman orang lain tidak wajib dikeluarkan zakatnya. Akan tetapi, piutang yang tidak diwajibkan itu hanya untuk piutang yang bersifat ghairu marju al-ada atau pengutang mempersulit atau menunda-nunda untuk melunasi utang.

Menurut Imam Malik, harta piutang adalah harta yang berada di tangan dan di bawah kekuasaan orang lain, bukan di tangan atau kekuasaan pemiliknya. Dengan kata lain, si pemilik harta tidak dapat menggunakan, mengelola, atau mentransaksikan harta tersebut, karena hartanya sedang digunakan oleh orang lain. Menurut Imam Malik, harta jenis ini tidak termasuk dalam status al-milk al-tam (kepemilikan sempurna).

Namun sebaliknya, piutang yang bersifat marju al-ada’ atau pengutangnya berusaha melunasi utang tersebut, maka piutang jenis ini wajib dikeluarkan zakatnya saat si pemilik piutang menerima kembali hartanya. Namun, zakat piutang ini hanya wajib dibayarkan sekali saja, meskipun harta itu sudah berada dalam genggaman orang lain dalam waktu yang lama. Hal ini ditegaskan Imam Malik melalui kitabnya al-Muwattha’:

“…dan apabila piutang tersebut berada di bawah kekuasaan pengutang dalam waktu beberapa tahun lamanya, kemudian pemilik piutang menerima piutangnya, maka ia hanya diwajibkan untuk mengeluarkan zakatnya hanya sekali saja.”

Hal ini mengacu pada hadis Rasulullah Saw yang diriwayatkan dari para sahabat-sahabatnya:

“Menceritakan kepada kami Zaid bin al-Hubab, dari ‘Abdullah bin al-Muammal, dari Ibn Abi Mulaikah, dari ‘Aisyah telah berkata: ‘Tidaklah diwajibkan zakat padanya (piutang) sampai ia menggenggamnya’.”

Baca juga: 5 Macam-Macam Wakaf dan Contohnya yang Jarang Diketahui

  • Pendapat Ibnu Hazm

Ibnu Hazm berpendapat bahwa piutang atau harta yang kita pinjamkan kepada orang lain di dalamnya tidak ada kewajiban zakat, baik dari pemilik piutang ataupun pengutang.

  • Pendapat Imam Syafi’i

Imam Syafi’i berpendapat bahwa piutang yang kita miliki wajib dikeluarkan zakatnya di setiap tahun. Sebab, menurut Imam Syafi’i, harta piutang yang ada dalam genggamam orang lain masih berstatus al-milk al-tam. Karena pada hakikatnya, harta tersebut milik si pemberi utang, walaupun harta itu tidak ada dalam genggamannya, dan akan dikembalikan kepadanya.

Imam Syafi’i menegaskan hal ini dalam kitab al-Umm, Bab I. Dalam hal ini, Imam Syafi’i bersandar pada ayat al-Qur’an yang berbunyi:

“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan mendoalah untuk mereka.” (Q.S. Al-Taubah: 103).

Ilustrasi piutang yang menumpuk

  • Pendapat Sebagian Ulama Lain

Sebagian ulama lainnya membagi hukum zakat piutang ke dalam dua kategori. Yakni, piutang yang mungkin cair dan piutang yang tidak mungkin cair. Untuk piutang yang mungkin cair, para ulama berpendapat zakatnya wajib dikeluarkan bersamaan dengan harta yang lain. Sedangkan piutang yang tidak mungkin cair, para ulama berbeda pendapat tentang hukum zakatnya.

  1. Piutang wajib dizakati apabila piutang itu cair dengan perhitungan waktu yang telah lampau secara keseluruhan. Misal, piutang itu tertunda dua tahun, maka piutang itu dizakati dua kali saat telah cair.
  2. Piutang wajib dizakati saat sudah cair, untuk satu tahun yang telah lampau saja, meskipun telah berlalu beberapa tahun.
  3. Piutang tidak wajib dizakati untuk masa yang telah lampau. Menurut ulama Hanafiyyah, piutang atau harta yang baru diterima itu memulai haul baru.

Berdasarkan tiga pendapat itu, sebagian ulama kontemporer menguatkan pendapat yang kedua. Apabila piutang itu telah berlalu hingga beberapa tahun, pemilik piutang hanya menzakati satu tahun yang telah lampau saja. Namun, tentu saja ruang perbedaan pendapat terbuka lebar dalam masalah ini, mengingat di zaman dulu belum ada pembahasan detail mengenai hal ini. Wallahua’lam…

(RQA)