Layar-layar ponsel pintar yang sehari-hari kita tatap tentu tak luput dari potret kehidupan orang lain. Kita bisa melihat teman yang bepergian dengan mobil mewah, atau menempati rumah baru di kawasan elit, atau bahkan naik pangkat di pekerjaannya. Hal ini bisa menjadi pisau bermata dua. Di satu sisi menjadi motivasi, namun di sisi lain bisa menimbulkan rasa iri dengki atau bahkan insecure atau rendah diri. Di sini lah pentingnya kita menerapkan sikap hidup zuhud. Apa itu zuhud?
Apa Itu Zuhud?
Banyak orang beranggapan bahwa zuhud adalah perilaku membenci hal-hal yang bersifat duniawi, meninggalkan harta-harta, dan hanya hidup dengan beribadah saja demi mengejar surga. Itu adalah anggapan yang keliru. Lantas, apa itu zuhud? Zuhud adalah sikap hidup yang tidak menaruh nilai tinggi pada dunia. Seseorang yang menerapkan sikap hidup zuhud artinya ia tidak meletakkan hatinya pada dunia, namun ia tidak juga menghindari kenikmatan yang ada di dunia.
Apabila ada seseorang yang mengaku zuhud dengan cara mengisi hidupnya hanya dengan ibadah dan mementingkan urusan akhirat saja, maka sesungguhnya ia tidak menerapkan perilaku zuhud. Sikap seperti ini justru dianggap egois, karena hanya mementingkan diri sendiri. Allah Swt memang memerintahkan umatnya untuk beribadah sebaik-baiknya, sebanyak-banyaknya, untuk memeroleh kebahagiaan akhirat. Namun bukan berarti kita melalaikan urusan dunia. Kita tetap memiliki kewajiban untuk mencukupi kebutuhan hidup kita sendiri, keluarga, dan melaksanakan kewajiban sosial.
Hal ini sebagaimana firman Allah Swt dalam surah Al-Qasash ayat 77:
“Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagiamu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan jangnlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.”
Baca juga: Hasad: Penyakit Hati yang Dapat Merusak Amalan Kita
Zuhud Sebagai Gaya Hidup
Sebagai umat muslim, kita perlu mengusahakan diri untuk menjadikan perilaku zuhud sebagai gaya hidup. Terlebih di zaman keterbukaan informasi yang ekstrem ini. Jangan sampai kita kufur terhadap nikmat yang telah kita miliki dan kita usahakan, hanya karena melihat kehidupan orang lain, yang bahkan hanya secuil saja.
Zuhud adalah kestabilan. Dengan menerapkan sikap hidup ini, maka kita tak akan goyah dengan kenikmatan dunia. Sebab, kita telah memiliki prinsip bahwa satu-satunya hal yang penting adalah rida Allah Swt. Seorang zahid (orang yang menjalani sikap hidup zuhud) tetap bisa memiliki harta yang banyak, namun ia tak akan terlena dengannya. Dan saat kehilangan semua harta tersebut, seorang zahid tak akan terpuruk dalam kesedihan, karena yang ia tuju hanya rida Allah Swt.
Perlu selalu diingat bahwa menjadi zahid bukan berarti kita harus kehilangan harta, melainkan kita memutus hubungan hati dengan harta. Artinya, ada dan tiada harta atau nikmat dunia, kita tetap menjalani hari sesuai dengan perintah Allah dan berusaha untuk memenuhi kebutuhan hidup kita dan keluarga.
Zuhud berarti tidak berhasrat terhadap sesuatu yang dibolehkan oleh syariat walaupun kesempatan untuk memperoleh atau mengerjakannya ada. Hal ini dilakukan guna melatih diri untuk mendahulukan kepentingan orang lain di atas kepentingan sendiri, serta untuk membersihkan diri dan hati.
Misalnya, kita bisa pergi bekerja dengan kendaraan mobil, namun kita tidak memilih opsi itu dan lebih memilih naik kendaraan umum. Alasannya, karena kita hanya pergi sendirian dan ruang di mobil tersisa banyak, jika kita tetap pergi dengan mobil maka itu hanya akan menambah kemacetan. Hal ini kita lakukan untuk kepentingan bersama, bukan untuk kepentingan pribadi yakni rasa nyaman yang hanya dapat dirasakan diri sendiri.
Baca juga: Ajaran Islam: Mengejar Kebahagiaan Boleh, Bermegah-megahan Tidak
Zuhud dan Stoicism
Stoicism atau stoikisme merupakan aliran filsafat yang mengajarkan tentang pengendalian diri. Pandangan hidup stoic fokus pada bagaimana kita dapat hidup dengan baik dan bahagia dengan mengendalikan emosi. Dengan memegang prinsip ini, kita akan dapat menghadapi tantangan hidup dengan lebih tenang dan bijaksana.
Bijaksana menjadi kata kunci yang membuat perilaku zuhud dan stoikisme berkaitan. Orang-orang yang menerapkan sikap hidup zuhud dan stoik akan lebih bijaksana dalam menyikapi beragam situasi. Mereka melepaskan hubungan duniawi dengan hati atau emosi mereka. Sebab, emosi dapat menjadi sumber ketidakbahagiaan manusia yang akan membuat mereka sibuk (berlarut) dan melupakan Allah Swt.
Tanda-Tanda Kezuhudan
Imam Al-Ghazali melalui kitab Ihya Ulumuddin menjelaskan tanda-tanda seseorang adalah zahid atau orang yang menerapkan sikap hidup zuhud. Tanda-tanda itu antara lain:
- Orang yang zuhud tidak akan terpengaruh dengan keberadaan dan ketiadaan harta. Ia tidak akan berbangga saat memiliki harta, namun juga tidak bersedih saat harta hilang darinya. Sebagaimana firman Allah dalam surah Al-Hadid 23, “(Yang demikian itu kami tetapkan) agar kamu tidak bersedih terhadap apa yang luput dari kamu dan tidak pula terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu. Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri.”
- Orang yang zuhud tidak akan terpengaruh dengan pujian dan hinaan. Mendapat hinaan ataupun pujian, keduanya tak memiliki hubungan dengan emosi negatif maupun positif. Keduanya sama saja bagi orang yang zuhud. Dengan demikian, seorang zahid tidak akan gila hormat.
- Orang yang zuhud hanya akan merasa terhibur atau senang dengan segala sesuatu yang berhubungan dengan Allah Swt. Hal ini ditandai dengan ia merasakan kenikmatan dan bahagia dalam beribadah.
Semoga Allah Swt selalu memberikan kemudahan dan hidayah kepada kita agar kita dapat mengambil sikap zuhud sebagai jalan hidup. Aamiin … (RQA)